Muyapa abi
Selasa, 22 November 2016
Kamis, 10 November 2016
Senin, 17 Oktober 2016
Batal Kunjungi Pembangunan Pasar, Jokowi Kecewakan Mama-Mama Papua
Mama-mama pedagang asli Papua yang menunggu kedatangan Jokowi di lokasi pembangunan pasar - IST
|
JAYAPURA, PACEKRIBO -
Sedikitnya 30 an mama-mama Papua pedagang asli Papua yang menunggu kedatangan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke lokasi pembangunan pasar permanen mama-mama
Papua di Jalan Ahmad Yani, Kota Jayapura kecewa lantaran orang nomor satu di
Indonesia tersebut batal melihat langsung pembangunan pasar, Senin
(17/10/2016).
Mama
Yuliana Pigay, salah satu pedagang di pasar sementara Mama-Mama Papua mengaku
sangat kecewa karena ia bersama mama-mama lainnya hendak menyampaikan surat
kepada presiden, terkait pembangunan hotel di lokasi pembangunan pasar dan
pembunuhan Sekretaris Solidaritas Pedagang Asli Papua (Solpap), Robert Jitmau.
“Kami
mau tanya ke presiden, kenapa ada hotel di pasar itu? Itu kami tolak. Kami juga
minta supaya setiap lantai di pasar itu nanti akomodir kebutuhan kami. Lantai
satu untuk pedagang bahan basah seperti sayur, ikan. Lantai dua untuk pedagang
bahan kering, sagu, roti atau lainnya. Lantai tiga untuk barang-barang budaya
dan lantai empat untuk pendidikan anak-anak dan ruang rapat,” ungkap Mama
Yuliana Pigay.
Selain
soal denah pasar, Mama Yuliana menambahkan dalam surat yang sudah disiapkan
oleh mama-mama, tertulis permintaan agar presiden melakukan intervensi
membentuk tim pencari fakta atas kasus pembunuhan Robert Jitmau yang akrab
dipanggil Rojit.
“Banyak
kejanggalan dalam sidang Rojit. Kami ingin ada saksi ahli kecelakaan lalu
lintas dan semua saksi dihadirkan di persidangan. Lalu polisi juga harus
menunjukkan bukti percakapan telepon Rojit,” lanjut Mama Yuliana.
Setelah
mendapat informasi kalau kedatangan Presiden Jokowi ke lokasi pembangunan pasar
permanen yang merupakan eks lokasi Perum Damri, batal satu persatu mama-mama
meninggalkan lokasi.
Walau
merasa kecewa, mama pedagang asli Papua lainnya, Mia Wenda mengatakan,
bersyukur karena pasar permanen yang selama ini diperjuangkan mama-mama Papua
akhirnya terwujud dimasa kepemimpinan Presiden Jokowi.
"Akhirnya
kami diberikan lokasi untuk pembangunan pasar permanen. Pemda selama ini tak
perhatikan kami. Sebagai kepala negara Presiden Jokowi bisa memperhatikan kami
mama-mama di Kota Jayapura," kata mama Mia kepada Jubi.
Katanya,
memang ada mama-mama pedagang asli Papua di daerah lain yang menempati tempat
layak untuk berjualan. Namun selama ini mama-mama yang berjualan di tengah Kota
Jayapura belum mendapatkan tempat.
"Tapi
di kepemimpinan Pak Jokowi kami dibangunkan pasar yang layak. Bangunan pasar
nantinya sepertinya bertingkat. Tapi itu tak masalah. Kami lebih senang. Tidak
seperti pasar sementara yang kami tempati sekarang ini. Kami jualan duduk
melantai dan atapnya hanya pakai tenda. Selama ini, pemda tak pernah buka mata
melihat kami disini," ucapnya. (jubi)
Komnas HAM: Pemerintah Lindungi Pelaku Paniai Berdarah!
Natalius Pigai, Komisioner Komnas HAM RI. |
Muyapa Abi- Natalius Pigai, Komisioner Komnas HAM RI mengaku mendapat
tekanan dari berbagai pihak terkait proses penyelesaian Kasus Paniai Berdarah,
8 Desember 2014. Sementara, pemerintah terkesan melindungi para pelaku dalam
kasus ini.
“Kami ingin
sampaikan bahwa masyarakat Paniai minta TNI dan Polri umumkan hasil
penyelidikan yang pernah dilakukan. Komnas HAM sudah kirim surat ke Menko
Polhukam, tetapi Pemerintah tidak mau mengumumkan, bahkan terkesan menutupi
pelaku! Nah, kasus Paniai ini letak kesalahannya ada di Pemerintah. Sepanjang
mereka menutup-nutupi pelaku khususnya terkait hasil penyelidikan institusi TNI
dan Polri, maka masyarakat tetap menolak siapapun yang melakukan penyelidikan,”
ungkapnya, dikutip dari keterangan tertulis yang dikirim ke suarapapua.com,
Senin (17/10/2016).
Sudah dua
tahun tragedi Paniai Berdarah belum terungkap. Penembakan yang menewaskan empat
pelajar tak berdosa dan melukai beberapa warga setempat, diakuinya, hingga kini
masih ditunggu-tunggu kapan akan dituntaskan.
“Banyak
pihak pertanyakan, termasuk kapan Komnas HAM mau lakukan penyelidikan pro
justisia, terus apa yang terjadi dengan Komnas HAM, dan sederet pertanyaan
lainnya. Memang Kasus Paniai Berdarah ini begitu penting bagi rakyat Paniai dan
masyarakat Papua pada umumnya, juga begitu penting bagi Indonesia di mata
dunia, karena sadar atau tidak, peristiwa Paniai telah mendunia, juga telah
menjadi memori buruk bangsa Melanesia di Papua,” beber Pigai.
“Saya kira
masyarakat Paniai berpikir cerdas karena kalau belajar dari kasus-kasus yang
lain, semua tidak pernah terbukti karena TNI dan Polri tidak pernah umumkan
pelakunya bahkan menyembunyikan pelakunya, kecuali kalau masyarakat atau
keluarga korban mau melakukan otopsi, sementara otopsi ada benturan dengan
budaya. Nah, satu-satunya jalan keluar adalah TNI dan Polri harus mengumumkan
hasil penyelidikannya. Setelah orangnya ketahuan baru Komnas HAM bisa lakukan
penyelidikan, pro justisia Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang HAM
berat,” tuturnya.
Menjawab
pertanyaan, mengapa Komnas HAM tidak lakukan dari tahun lalu atau sekarang,
menurut Natalius, “Jawaban saya sederhana, kami tidak mau menipu rakyat, karena
alat bukti untuk menunjukkan orang (pelaku) sulit ketahui, kecuali komandan
atau kesatuannya saja yang bisa kami tahu, tetapi pelaku akan sulit, lain
halnya kalau TNI dan Polri tunjuk atau pelaku mengaku sendiri, autopsi.”
Natalius
lebih lanjut membeberkan, dari seluruh hasil penyelidikan HAM berat yang
dilakukan oleh Komnas HAM hampir semua tidak terbukti, bahkan berkas yang ada
saat ini di Komnas HAM, semua bukti tidak ada yang kuat termasuk kasus Wamena
Berdarah dan kasus Wasior.
“Jadi, kalau
dibawa ke pengadilan pelakunya pasti dibebaskan. Kasus Paniai Berdarah tidak
mau mengalami hal yang sama. Kasus Paniai ingin pelaku diberi hukuman berat
sesuai dengan UU Nomor 26 tahun 2000, bahkan terancam hukuman mati kepada si pelaku.
Makanya kami apresiasi rakyat Paniai yang konsisten minta TNI dan Polri umumkan
pelakunya,” ujar Natalius.
Diakuinya,
kasus Paniai Berdarah ditanya oleh siapapun termasuk dunia Internasional, maka
yang menutupi pelaku dan tak mau buka hasil penyelidikan itu Menko Polhukam
atau Pemerintah.
“Kalau ada
oknum-oknum termasuk orang Komnas HAM yang memaksa agar lakukan penyelidikan,
maka saya pastikan itu pekerjaan penyelidikan beraroma politik, bukan Hak Asasi
Manusia murni. Saya ini pekerja Kemanusiaan, saya bukan orang politik. Kami
empati pada korban dan rakyat kecil dengan kebenaran dan keadilan, bukan hanya
menyenangkan rakyat, tetapi secara substansial pada akhirnya tidak mendapat
keadilan,” tuturnya.
Sikap yang
sama ini menurut Pigai, sudah dilakukan Komnas HAM pada penyelidikan HAM berat,
selain Paniai, Papua, juga wilayah Indonesia lainnya.
“Dengan
demikian, siapa yang salah dan menghambat dalam penyelidikan kasus Paniai, maka
saya menduga negara dengan sadar dan sengaja menutupi pelaku sembari memaksa
Komnas HAM lakukan penyelidikan, itu sebuah pembohongan kepada keluarga korban
karena hasilnya pelaku tidak akan ketahuan di pengadilan. Sementara Indonesia
umumkan kepada semua komunitas pembela HAM dan yang peduli HAM baik di dalam
negeri dan luar negeri bahwa penyelidikan Paniai sudah selesai, itu sebuah
pembohongan bagi orang-orang pencari keadilan di Paniai,” tandasnya.
Ia
menambahkan, sudah terlalu lama, 50 tahun lebih, orang Paniai menderita,
ditangkap, dianiaya, disiksa, dan dibunuh saban hari tanpa henti. Kehidupannya
penuh ketakutan, kesedihan, rintihan, ratapan dan tangisan hari-hari orang
Paniai. “Hingga hari ini mereka hidup ibarat di daerah jajahan. Dari ribuan
manusia yang mati sia-sia, biarkan mereka berjuang demi keadilan untuk sekali
ini,” tegas Pigai. (Mary Monireng/suarapapua)
Minggu, 16 Oktober 2016
Minggu, 25 September 2016
Jecky Amisim saat
bertemu James R. Moffett pimpinan PT. Freeport.
Timika, Tabloid-WANI -- Kabar duka terdengar secara tiba-tiba sekitar
beberapa jam yang lalu, seorang tokoh inspirator pemberdayaan tuju suku
di Freeport berpulang ke pangkuan Ilahi pada hari Sabtu tanggal 24
September 2016 di RSUD milik Pemda Sp 1 Mimika.
Berita duka ini tak menyangka. Kepergian salah seorang tokoh Amungme,
dan juga pejuang harga diri rakyat dan karyawan 7 suku Papua dalam area
kerja Freeport yang tertindas ini begitu cepat.
Jecky Amisim namanya, dengan pembawaan tenang, ramah kepada semua orang,
ulet dan gigih memperjuangkan harga diri, bekerja tanpa pamrih, santun
dalam berjuang serta inspirator yang tak cukup jika hanya dilukiskan
dengan kata-kata.
Kadepa: Selamat Jalan Tokoh Inspirator Pemberdayaan 7 Suku di Freeport
Menurut Laurenzus Kadepa yang juga legislator DPRP ini megatakan.
"Jasa terbesar beliau yang sering disapa Jecky ini, bagi saya sungguh
tak dapat hilang bahkan hingga ratusan tahun yang akan datang,
kegigihannya memperjuangkan harga diri dalam Freeport dari awal tak
tertandingi" ungkapnya.
Beliau adalah salah satu sosok yang berjasa hingga melahirkan "New Era
Egreement dalam Freeport".
Lanjut Kadepa "Dalam beberapa kali diskusi beliau dengan saya
dikediamannya, ketika pemberdayaan 7 suku di Freeport diperjuangkan,
saya melihat semangat yang luar biasa ketika kita bicara tentang
bagaimana melawan "Sistim Kapitalis" yang didukung penuh oleh Pemerintah
Indonesia dan Para Kaki Tangan Pemerintahannya. Dia adalah satu-satunya
orang Amungme yang rela mau korban diatas kekayaan alamnya demi
perjuangan harga dirinya, dia adalah orang yang tetap masih semangat
ketika orang lain justru hilang harapan, beliau sosok tokoh yang
benar-benar berkharisma, santun dan sangat bijaksana".
Kini sosok tanpa pamrih itu sudah pergi mendahului kita semua, jasanya
sungguh tak cukup dibalas dengan ucapan belasungkawa, bahkan buku
biografi sekalipun, selamat jalan Jecky Amisim, sang tokoh dari gunung
Nemankawi yang juga pejuang dari suku Amungme yang tak tertandingi.
Laurenzus Kadepa
Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2016/09/kadepa-selamat-jalan-tokoh-inspirator-pemberdayaan-7-suku-di-freeport.html?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook&m=1
Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2016/09/kadepa-selamat-jalan-tokoh-inspirator-pemberdayaan-7-suku-di-freeport.html?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook&m=1
Minggu, 14 Agustus 2016
Karnaval HUT RI di Wamena Diwarnai Bendera Bintang Fajar, Ini Pengakuan Sejumlah Siswa
Karnaval HUT RI di wamena diwarnai dengan bintang fajar
SuaraWamena - Sejak duluh
menjelang 17 Agustus Pemerintah Kabupaten Jayawijaya melaksanakan
Karnaval setiap tahunnya. Biasanya peserta yang ikut dalam Karnaval adalah
siswa dan siswi TK - Perguruan Tinggi semuanya tampil dengan busana dan atribut
masing-masing.
Pada hari Kamis 11 Agustus 2016, ada pemandangan
agar bedah dan tidak seperti biasanya ribuan siswa dari sejumlah sekolah
di kota Wamena hadir dalam Karnaval dengan berhiasan motif bendera Bintang
kejora di tubuh mereka, dilaporkan semua siswa dan siswi itu menghias tubuh
mereka dengan bendera Bintang Fajar yang merupakan simbol Papua merdeka.
Aktivis
Papua Merdeka di wamena mengatakan, kami sampaikan kepada dunia internasional
bawah , rakyat bangsa West Papua ingin bebas dari penjajahan kolonial
Indonesia, diharapkan semua pihak memahami hal ini dengan baik. Apa yang
ditampilkan sejumlah siswa itu adalah bukti.
Karena
, guru-guru semua sekolah dari dasar sampai peguruan tinggi harus memahami
dengan baik sikap siwa/I yang sementarah berniat untuk merdeka atau kebebasan
dari segala macam acaman dari kekerasan terhadap rakyat bangsa West Papua dari
tahun 1960-an sampai 2016 ini, maka dengan sejujurnya bawah semua siwa ikut
dengan Karnaval atau mempringati hari HUT 17 agustus ,NKRI bukan karena kami
ras Melanesia, bukan melayu kami adalah sesungguhnya Melanesia titik.
Salah
satu siswa mengaku bahwa, semua ini paksaan dari semua dewan guru maka kami
semua siwa dan siswa dari Sekolah Dasar sampai penguruan tinggi hanya mengikuti
saja tautnya dikeluarkan dari sekolah dan kami sampaikan pesan kepada bapak
Bubati dan yang kerja di pemeritah kolonial Indonesia segera, atau harap di
pahami baik sikap dari rakyat bangsa West Papua dan kami semua sedang
mengikuti perkembangan yang terjadi di Jawa dan Bali, mahasiwa Papua
didiskriminasi oleh ormas dan Aparat Kepolisian Indonesia.
Maka
sekarang pada Karnaval ini kami semua siswa menhiasi badan kami dengan bendera
Bintang Fajar artinya kami mau merdeka dari dari penjajah Indonesia. Maka kami
dari siswa siswi harap kepada Kapolres Jayawijaya mohon dimengarti bahwa kami
tidak menghias bendera Merah Putih walaupun ini dalam rangah Hari Ulang
Tahun Indonesia, kami menghias dengan bendera Bintang Fajar arti kami ingin
merdeka dan bebas dari penjajahan Indonesia.
Kami
semua siswa dari Sorong - Merauke , memahami perjuangan Papua merdeka dan juga
kami kenal sebuah wada persatuan United Liberation Movement for West Papua
(ULMWP) dan semua agenda di tingkat Melanesia Spearhead Group (MSG) dan dunia
internasional. Maka kami semua menolak cara kolonial Indonesia memaksakan kami
untuk memperingati hari ulang Tahun negara mereka. Mohon dihentikan pembusukan
dari bangsa kolonial. Ujar sejumlah siswa yang tidak mau disebutkan namanya
itu.
Langganan:
Postingan (Atom)