Komnas HAM: Pemerintah Lindungi Pelaku Paniai Berdarah!
Natalius Pigai, Komisioner Komnas HAM RI. |
Muyapa Abi- Natalius Pigai, Komisioner Komnas HAM RI mengaku mendapat
tekanan dari berbagai pihak terkait proses penyelesaian Kasus Paniai Berdarah,
8 Desember 2014. Sementara, pemerintah terkesan melindungi para pelaku dalam
kasus ini.
“Kami ingin
sampaikan bahwa masyarakat Paniai minta TNI dan Polri umumkan hasil
penyelidikan yang pernah dilakukan. Komnas HAM sudah kirim surat ke Menko
Polhukam, tetapi Pemerintah tidak mau mengumumkan, bahkan terkesan menutupi
pelaku! Nah, kasus Paniai ini letak kesalahannya ada di Pemerintah. Sepanjang
mereka menutup-nutupi pelaku khususnya terkait hasil penyelidikan institusi TNI
dan Polri, maka masyarakat tetap menolak siapapun yang melakukan penyelidikan,”
ungkapnya, dikutip dari keterangan tertulis yang dikirim ke suarapapua.com,
Senin (17/10/2016).
Sudah dua
tahun tragedi Paniai Berdarah belum terungkap. Penembakan yang menewaskan empat
pelajar tak berdosa dan melukai beberapa warga setempat, diakuinya, hingga kini
masih ditunggu-tunggu kapan akan dituntaskan.
“Banyak
pihak pertanyakan, termasuk kapan Komnas HAM mau lakukan penyelidikan pro
justisia, terus apa yang terjadi dengan Komnas HAM, dan sederet pertanyaan
lainnya. Memang Kasus Paniai Berdarah ini begitu penting bagi rakyat Paniai dan
masyarakat Papua pada umumnya, juga begitu penting bagi Indonesia di mata
dunia, karena sadar atau tidak, peristiwa Paniai telah mendunia, juga telah
menjadi memori buruk bangsa Melanesia di Papua,” beber Pigai.
“Saya kira
masyarakat Paniai berpikir cerdas karena kalau belajar dari kasus-kasus yang
lain, semua tidak pernah terbukti karena TNI dan Polri tidak pernah umumkan
pelakunya bahkan menyembunyikan pelakunya, kecuali kalau masyarakat atau
keluarga korban mau melakukan otopsi, sementara otopsi ada benturan dengan
budaya. Nah, satu-satunya jalan keluar adalah TNI dan Polri harus mengumumkan
hasil penyelidikannya. Setelah orangnya ketahuan baru Komnas HAM bisa lakukan
penyelidikan, pro justisia Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang HAM
berat,” tuturnya.
Menjawab
pertanyaan, mengapa Komnas HAM tidak lakukan dari tahun lalu atau sekarang,
menurut Natalius, “Jawaban saya sederhana, kami tidak mau menipu rakyat, karena
alat bukti untuk menunjukkan orang (pelaku) sulit ketahui, kecuali komandan
atau kesatuannya saja yang bisa kami tahu, tetapi pelaku akan sulit, lain
halnya kalau TNI dan Polri tunjuk atau pelaku mengaku sendiri, autopsi.”
Natalius
lebih lanjut membeberkan, dari seluruh hasil penyelidikan HAM berat yang
dilakukan oleh Komnas HAM hampir semua tidak terbukti, bahkan berkas yang ada
saat ini di Komnas HAM, semua bukti tidak ada yang kuat termasuk kasus Wamena
Berdarah dan kasus Wasior.
“Jadi, kalau
dibawa ke pengadilan pelakunya pasti dibebaskan. Kasus Paniai Berdarah tidak
mau mengalami hal yang sama. Kasus Paniai ingin pelaku diberi hukuman berat
sesuai dengan UU Nomor 26 tahun 2000, bahkan terancam hukuman mati kepada si pelaku.
Makanya kami apresiasi rakyat Paniai yang konsisten minta TNI dan Polri umumkan
pelakunya,” ujar Natalius.
Diakuinya,
kasus Paniai Berdarah ditanya oleh siapapun termasuk dunia Internasional, maka
yang menutupi pelaku dan tak mau buka hasil penyelidikan itu Menko Polhukam
atau Pemerintah.
“Kalau ada
oknum-oknum termasuk orang Komnas HAM yang memaksa agar lakukan penyelidikan,
maka saya pastikan itu pekerjaan penyelidikan beraroma politik, bukan Hak Asasi
Manusia murni. Saya ini pekerja Kemanusiaan, saya bukan orang politik. Kami
empati pada korban dan rakyat kecil dengan kebenaran dan keadilan, bukan hanya
menyenangkan rakyat, tetapi secara substansial pada akhirnya tidak mendapat
keadilan,” tuturnya.
Sikap yang
sama ini menurut Pigai, sudah dilakukan Komnas HAM pada penyelidikan HAM berat,
selain Paniai, Papua, juga wilayah Indonesia lainnya.
“Dengan
demikian, siapa yang salah dan menghambat dalam penyelidikan kasus Paniai, maka
saya menduga negara dengan sadar dan sengaja menutupi pelaku sembari memaksa
Komnas HAM lakukan penyelidikan, itu sebuah pembohongan kepada keluarga korban
karena hasilnya pelaku tidak akan ketahuan di pengadilan. Sementara Indonesia
umumkan kepada semua komunitas pembela HAM dan yang peduli HAM baik di dalam
negeri dan luar negeri bahwa penyelidikan Paniai sudah selesai, itu sebuah
pembohongan bagi orang-orang pencari keadilan di Paniai,” tandasnya.
Ia
menambahkan, sudah terlalu lama, 50 tahun lebih, orang Paniai menderita,
ditangkap, dianiaya, disiksa, dan dibunuh saban hari tanpa henti. Kehidupannya
penuh ketakutan, kesedihan, rintihan, ratapan dan tangisan hari-hari orang
Paniai. “Hingga hari ini mereka hidup ibarat di daerah jajahan. Dari ribuan
manusia yang mati sia-sia, biarkan mereka berjuang demi keadilan untuk sekali
ini,” tegas Pigai. (Mary Monireng/suarapapua)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar